Peraturan Presiden No 36 Tahun
2005 diterbitkan karena Keputusan Presiden No 55 Tahun 1993 dipandang tidak
sesuai lagi sebagai landasan hokum pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum. Pepres no 36/2005 dinilai bersifat represif dan lebih berpihak pada pihak
swasta/investor daripada Keppres no 55/1993. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam
Pepres no 36/2005 antara lain:
1.
Dalam konsideransi disebutkan, “Pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah”. Karena konstitusi menjamin hak seseorang (subyek) atas tanah (obyek)
yang merupakan hak ekonominya, maka lebih tepat prinsip penghormatan diberikan
kepada hak seseorang (subyek).
2.
Pengertian kepentingan umum menurut Pepres no 36/2005,
“Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat, tanpa ada
pembatasan. Karena dalam Pepres no 36/2005 tidak ada kriteria pembatasan
keepentingan umum, hal ini membuka
kemungkinan pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi pemeintah sedangkan
biayanya dibebankan kepada swasta/investor.
3.
Ganti rugi atas kerugian yang bersifat fisik dan
nonfisik. Pepres no 36/2005 tidak menjabarkan lebih lanjut bentuk ganti kerugian nonfisik
tersebut. Contoh kerugian nonfisik hilangnya pekerjaan, sumber penghasilan dan
sumber pendapatan lain yang berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan
seseorang.
4.
Pepres tidak menjabarkan permukiman kembali sebagai
alternatif bentuk ganti kerugian. Ketentuan permukiman kembali sebaiknya memuat
tentang: siapa yang berhak atas relokasi, syarat kelengkapan lokasi permukiman
kembali dan hak-hak peserta relokasi.
5.
Peran dan kedudukan Panitia Pengadaan Tanah secara
garis besar Pepres no 36/2005 merujuk Keppres no 55/1993. Terdapat perbedaan
dalam kesan independensi menurut Pepres dan Kepres. Pepres menyebutkan,
musywarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah bersama
Panitia dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah. Sedangkan Keppres
menyebutkan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah
bersangkutan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam Pepres,
Panitia terkesan merupakan partisipan dalam musyawarah, sedangkan dalam
Keppres, Panitia terkesan lebih independen. Sebaiknya Panitia berperan
fasilitator yang independen.
6.
Penitipan ganti kerugian kepada pengadila negeri
berdasarkan dua alasan, yakni kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak
dapat dipindahkan secara teknis tata ruang ke lokasi lain dan musyawarah telah
berjalan selama 90 hari kalender namun tidak dicapai kata sepakat. Hal ini
merupakan pemaksaan kehendak oleh satu pihak dan mengabaikan prinsip kesetaraan
antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
Pembatasan jangka waktu
musyawarah 90 hari kalender, Pepres terkesan lebih mementingkan segi
formalitas/prosedural daripada esensi musyawarah.
7.
Dalam Pepres
terdapat dua cara untuk memperoleh tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas
tanah dan melalui pencabutan hak atas tanah, seperti yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.
Pencabutan
hak atas tanah tersebut adalah dalam hal keadaan memaksa (pasal 1). Sedangkan
dalam Pepres no 36/2005 pencabutan dilakukan apabila tidak ada kesepakatan
mengenai ganti rugi sementara pembangunan tidak dapat dialihkan.
8.
Pengadaan tanah seperti
yang diatur dalam Pepres no 36/2005 akan mengakibatkan bentuk-bentuk pengusiran
dan penggusuran secara paksa menjadi legal hanya dengan alasan penataan kota
atau pembangunan sejumlah fasilitas umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar