Senin, 20 Mei 2013

Analisis terhadap Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum


Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 diterbitkan karena Keputusan Presiden No 55 Tahun 1993 dipandang tidak sesuai lagi sebagai landasan hokum pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Pepres no 36/2005 dinilai bersifat represif dan lebih berpihak pada pihak swasta/investor daripada Keppres no 55/1993.  Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam Pepres no 36/2005 antara lain:
1.      Dalam konsideransi disebutkan, “Pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah”. Karena konstitusi menjamin hak seseorang (subyek) atas tanah (obyek) yang merupakan hak ekonominya, maka lebih tepat prinsip penghormatan diberikan kepada hak seseorang (subyek).
2.      Pengertian kepentingan umum menurut Pepres no 36/2005, “Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat, tanpa ada pembatasan. Karena dalam Pepres no 36/2005 tidak ada kriteria pembatasan keepentingan umum, hal  ini membuka kemungkinan pengadaan tanah oleh swasta difasilitasi pemeintah sedangkan biayanya dibebankan kepada swasta/investor.
3.      Ganti rugi atas kerugian yang bersifat fisik dan nonfisik. Pepres no 36/2005 tidak menjabarkan lebih  lanjut bentuk ganti kerugian nonfisik tersebut. Contoh kerugian nonfisik hilangnya pekerjaan, sumber penghasilan dan sumber pendapatan lain yang berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan seseorang.
4.      Pepres tidak menjabarkan permukiman kembali sebagai alternatif bentuk ganti kerugian. Ketentuan permukiman kembali sebaiknya memuat tentang: siapa yang berhak atas relokasi, syarat kelengkapan lokasi permukiman kembali dan hak-hak peserta relokasi.
5.      Peran dan kedudukan Panitia Pengadaan Tanah secara garis besar Pepres no 36/2005 merujuk Keppres no 55/1993. Terdapat perbedaan dalam kesan independensi menurut Pepres dan Kepres. Pepres menyebutkan, musywarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah bersama Panitia dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah. Sedangkan Keppres menyebutkan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah bersangkutan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam Pepres, Panitia terkesan merupakan partisipan dalam musyawarah, sedangkan dalam Keppres, Panitia terkesan lebih independen. Sebaiknya Panitia berperan fasilitator yang independen.
6.      Penitipan ganti kerugian kepada pengadila negeri berdasarkan dua alasan, yakni kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dipindahkan secara teknis tata ruang ke lokasi lain dan musyawarah telah berjalan selama 90 hari kalender namun tidak dicapai kata sepakat. Hal ini merupakan pemaksaan kehendak oleh satu pihak dan mengabaikan prinsip kesetaraan antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
Pembatasan jangka waktu musyawarah 90 hari kalender, Pepres terkesan lebih mementingkan segi formalitas/prosedural daripada esensi musyawarah.
7.      Dalam Pepres terdapat dua cara untuk memperoleh tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah dan melalui pencabutan hak atas tanah, seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.
Pencabutan hak atas tanah tersebut adalah dalam hal keadaan memaksa (pasal 1). Sedangkan dalam Pepres no 36/2005 pencabutan dilakukan apabila tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi sementara pembangunan tidak dapat dialihkan.
8.      Pengadaan tanah seperti yang diatur dalam Pepres no 36/2005 akan mengakibatkan bentuk-bentuk pengusiran dan penggusuran secara paksa menjadi legal hanya dengan alasan penataan kota atau pembangunan sejumlah fasilitas umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar