Jumat, 24 Mei 2013

MAKALAH PROBLEMA (PERMASALAHAN) DI PERKOTAAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkotaan di Indonesia, tak lagi terbatas sebagai pusat pemukiman masyarakat. Kini kota juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan,sentral hirarki, dan pusat pertumbuhan ekonomi.Sebagai konsekuensi logis dari peran kota sebagai pusat pertumbuhan dan ekonomi, sumbangan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, semakin meningkat.
Data menunjukkan, terdapat peningkatan peranan perkotaan terhadap pertumbuhan nasional yang cukup signifikan. Pada awal Pelita I, peranan kota terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 50%, namun pada Pelita V, peranan kota terhadap pertumbuhan telah mencapai 70% (National Urban Development Strategy, 2001).
Pertumbuhan tersebut membawa dampak yang besar bagi kota itu sendiri. Dari sisi penduduk misalnya, terdapat pertumbuhan jumlah penduduk yang besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 31,1%, sementara pada 1995 mencapai 35,9% dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan proyeksi National Urban Development Strategy, jumlah penduduk perkotaan pada tahun 2003 mencapai 55,3% dari penduduk Indonesia.  Di lain pihak, penduduk pedesaan pada 1990,mencapai 68,9% pada 1995 mencapai 64,4% dan pada 2003 penduduk pedesaan mencapai kurang dari 45% dari jumlah penduduk Indonesia.
Penambahan komposisi kependudukan perkotaan memang tak terelakkan. Pada kenyataannya negara-negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi pula. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja. (Prijono Tjiptoherijanto, Urbanisasi dan Perkotaan, Artikel kompas 2000).
Tentu juga pertumbuhan penduduk yang demikian pesat tersebut membawa konsekuensi yang besar bagi perkotaan. Penambahan jumlah penduduk di tengah semakin terbatasnya ruang publik, menjadikan kota semakin lama semakin kehilangan fungsi sebagai sarana pemukiman yang nyaman.
Krisis perekonomian yang melanda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadikan kota harus menanggung beban tambahan yang cukup serius. Arus urbanisasi yang semakin meningkat dari desa ke kota, ditambah dengan meningkatnya jumlah pengangguran dari 3 juta pada September 1998, menjadi 26 juta pada Januari 1999 (NUDS 2, 2000) menjadikan permasalahan kota menjadi semakin kompleks.
Sebagai dampak pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut, beberapa prinsip perencanaan perkotaan seperti liveability, kenyamanan kota yang dinilai akan mendorong warganya berproduktivitas tinggi, competitiveness, kebersaingan untuk mengundang investor1, menjadi sulit untuk tercapai.




BAB II
PEMBAHASAN


Dengan berbagai persoalan ini, penataan kota menjadi semakin kompleks. Beberapa permasalahan kota tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Arus Urbanisasi yang Cepat
Urbanisasi menurut Prijono Tjiptoherijanto berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8 Mei 2000).
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.
Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak.

 Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang terbatas, menjadi semakin meluas.
2. Hilangnya Ruang Publik
Dalam praktiknya berbagai kepentingan dan fungsi perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota lainnya. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan lahan bagi pengembangan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya, ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya. Yang kerap dikorbankan adalah ruang-ruang publik.
Sarana olahraga, pendidikan kerap harus tersingkir oleh kepentingan ekonomi.Kasus penggusuran sebuah sekolah di Kawasan Melawai Jakarta baru-baru ini, merupakan salah satu contoh betapa sebuah kepentingan ekonomi harus mengorbankan fungsi kota lainnya, meski itu juga penting, yakni pendidikan.
Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang publik antara lain untuk keperluan olahraga harus dikorbankan. Akibantnya, anak-anak muda jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan ”kelebihan energinya”.

Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya sarana untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya.
Kondisi ini digambarkan secara cepat oleh Prijono Tjiptoherijanto:
Kebijaksanaan pembangunan perkotaan saat ini cenderung terpusat pada suatu arena yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan apa yang yang dikenal dengan nama daerah perkotaan. Sementara terdapat keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk.
Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih muda memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (Urbanisasi dan perkotaan di Indonesia, Artikel Harian Kompas, Senin, 8 Mei 2000).
3.      Meningkatnya Kemacetan
 Pertumbuhan jumlah kendaraan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan penduduk, membawa implikasi lain bagi perkotaan. Masalah kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para pengambil kebijakan perkotaan.

 Terbatasnya wilayah untuk memperluas jaringan jalan, merupakan kendala terbesar sehingga penambahan ruas jalan yang dilakukan pemerintah tak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Akibatnya persoalan kemacetan lalu lintas ini semakin lama semakin menjadi.
Persoalannya semakin pelik, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga masyarakat lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi dan akhirnya menjadikan masalah kemacetan ini makin menjadi.
Di lain pihak pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta, tak mampu memecahkan masalah ini, karena para penduduk kota satelit ini justru masih mencari penghidupan di Jakarta. Akibatnya pembangunan kota-kota ini justru hanya memperluas sebaran daerah-daerah pusat kemacetan lalu lintas.
4.      Disparitas Pendapatan Antarpenduduk Perkotaan
Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan antarpenduduk di perkotaan semakin besar.
Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan menguasai sebagian besar sumber perekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian. Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar.
Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal, kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan.
5.      Meningkatnya Sektor Informal
Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor informal perkotaan.
Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga perkotaan yang lain.
6.      Polusi Udara
Menurut hasil studi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang bekerjasama dengan Forchungszentrum Julich Jerman, pada tahun 1991 luas kawasan kritis polusi udara di Pulau Jawa sudah mencapai 7.800 km2, meliputi seluruh kota besar, kota sedang dan sebagian kota kecil. Untuk tahun 2001, luas kawasan mencapai 17.300 km2, tahun 2011 diperkirakan mencapai 30.500 km2 dan tahun 2021 diperkirakan mencapai 50.600 km2 (lebih luas dari Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat).
 Pertumbuhan polusi kota dan tingkat industrialisasi yang tak terhindar, akan mengarah kepada kebutuhan enegi yang lebih besar, pada umumnya akan menghasilkan pembuangan limbah atau zat pencemar lebih banyak.pembakaran bahan bakar posil untuk pemanasan rumahtangga untuk pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor, dalam proses-proses industri dan pembuangan limbah padat dengan pembakaran merupakan sumber utama dari pembuangan limbah zat-zat pencemar didaerah perkotaan.















BAB III
KESIMPULAN


Maraknya  pembangunan di kota-kota besar di Indonesia dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sebagai dampaknya, kota-kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal.
Tuntutan hidup di perkotaan, bagi sebagian penduduk yang pindah merupakan kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup, apalagi bagi yang memiliki pendidikan dan keterampilan. Namun, bagi sebagian penduduk lagi yang pindah malah akan menjadi beban bagi kota yang dituju karena tidak memiliki pendidikan dan keterampilan.
Hal ini akan menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang selanjutnya malah akan menyebabkan timbulnya kerawanan dalam masyarakat seperti pengangguran, kemiskinan, serta kriminalitas.
Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah diharapkan melaksanakan langkah-langkah berikut:
A.      Mengurangi arus urbanisasi
Beberapa upaya beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi masalah urbanisasi di antaranya melalui peningkatan aspek pendidikan, aspek aksesibilitas, serta pengembangan aspek potensi desa.
B.      Mengatasi kemacetan
Beberapa upaya untuk mengatasi kemacetan di perkotaan antara lain:
-          Menyiapkan angkot-copter untuk rakyat
-          Mengurangi pengendara motor
-          Pembangunan parkir gratis di lokasi-lokasi strategis
-          Menerapkan undang-undang lalulintas dengan baik
-          dll
C.      Mengatasi  sampah
Upaya penanganan sampah di perkotaan sebagai berikut:
-          Menyediakan tempat sampah
-          Mengembangkan system daur ulang
-          Teknik pengolahan sampah organik menjadi pangen ternak
-          Mengikutsertakan masyarakat dalam pengananan sampah
-          Sistem pengolahan sampah secara terpadu
-          Teknologi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
-          dll
D.     Mengatasi polusi
Beberapa upaya untuk mengatasi polusi antara lain:
-          Melakukan penghijauan di perkotaan
-          Mengurangi jumlah mobil lalu lalang
-          Meminimalkan penggunaan AC
-          Memilih produk ramah lingkungan
-          Melarang merokok di tempat-tempat umum
-          Menggunakan lampu dengan kapasitas yang tepat
-          dll

Dengan menerapkan beberapa upaya diatas akan dapat mengurangi masalah-masalah  di perkotaan, diharapkan pemerintah mengambil langkah serius untuk menangani masalah-masalah di perkotaan sehingga Indonesia memiliki kota-kota sehat dan nyaman.

1 komentar: